Open top menu
Selasa, 24 Juni 2014

KETERKAITAN PERKEMBANGAN CYBER DENGAN HUKUM DI INDONESIA
1.    Hukum Siber (Cyber Law)
Adalah istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum Teknologi Informasi (Law of Information Techonology) Hukum Dunia Maya (Virtual World Law) dan Hukum Mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan internet dan pemanfaatan teknologi informasi berbasis virtual. Istilah hukum siber digunakan dalam tulisan ini dilandasi pemikiran bahwa cyber jika diidentikan dengan “dunia maya” akan cukup menghadapi persoalan ketika terkait dengan pembuktian dan penegakan hukumnya. Mengingat para penegak hukum akan menghadapi kesulitan jika harus membuktikan suatu persoalan yang diasumsikan sebagai “maya”, sesuatu yang tidak terlihat dan semu [1]. Di internet hukum itu adalah cyber law, hukum yang khusus berlaku di dunia cyber. Secara luas cyber law bukan hanya meliputi tindak kejahatan di internet, namun juga aturan yang melindungi para pelaku e-commerce, e-learning; pemegang hak cipta, rahasia dagang, paten, e-signature; dan masih banyak lagi.
Munculnya Cyber Law di Indonesia dimulai sebelum tahun 1999. Focus utama pada saat itu adalah pada “payung hukum” yang generic dan sedikit mengenai transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya. Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana. Untuk hal yang terkait dengan transaksi elektronik, pengakuan digital signature sama seperti tanda tangan konvensional merupakan target. Jika digital signature dapat diakui, maka hal ini akan mempermudah banyak hal seperti electronic commerce (e-commerce), electronic procurement (e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik lainnya.

2.    Definisi Cyber Law
Definisi cyber law yang diterima semua pihak adalah milik Pavan Dugal dalam bukunya Cyberlaw The Indian Perspective (2002). Di situ Dugal mendefinisikan Cyberlaw is a generic term, which refers to all the legal and regulatory aspects of Internet and the World Wide Wide. Anything concerned with or related to or emanating from any legal aspects or issues concerning any activity of netizens and others, in Cyberspace comes within the amit of Cyberlaw [2]. Disini Dugal mengatakan bahwa Hukum Siber adalah istilah umum yang menyangkut semua aspek legal dan peraturan Internet dan juga World Wide Web. Hal apapun yang berkaitan atau timbul dari aspek legal atau hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas para pengguna Internet aktif dan juga yang lainnya di dunia siber, dikendalikan oleh Hukum Siber.
3.    Latar Belakang Terbentuknya Cyber Law
Cyber law erat lekatnya dengan dunia kejahatan. Hal ini juga didukung oleh globalisasi. Zaman terus berubah-ubah dan manusia mengikuti perubahan zaman itu. Perubahan itu diikuti oleh dampak positif dan dampak negatif. Ada dua unsur terpenting dalam globalisasi. Pertama, dengan globalisasi manusia dipengaruhi dan kedua, dengan globalisasi manusia mempengaruhi (jadi dipengaruhi atau mempengaruhi) [3].
4.    Bentuk Kejahatan Komputer dan Siber
a.    Penipuan Komputer (computer fraudulent) [3][2]
1.    Pencurian uang atau harta benda dengan menggunakan sarana komputer/ siber dengan melawan hukum. Bentuk kejahatan ini dapat dilakukan dengan mudah dalam hitungan detik tanpa diketahui siapapun juga. Bainbdridge (1993) dalam bukunya Komputer dan Hukum membagi beberapa macam bentuk penipuan data dan penipuan program
2.    Memasukkan instruksi yang tidak sah, seperti contoh seorang memasukkan instruksi secara tidak sah sehingga menyebabkan sistem komputer melakukan transfer uang dari satu rekening ke rekening lain, tindakan ini dapat dilakukan oleh orang dalam atau dari luar bank yang berhasil memperoleh akses kepada sistem komputer tanpa izin.
3.    Perubahan data input, yaitu data yang secara sah dimasukkan ke dalam komputer dengan sengaja diubah. Cara ini adalah suatu hal yang paling lazim digunakan karena mudah dilakukan dan sulit dilacak kecuali dengan pemeriksaan berkala.
4.    Perusakan data, hal ini terjadi terutama pada data output, misalanya laporan dalam bentuk hasil cetak komputer dirobek, tidak dicetak atau hasilnya diubah.
5.    Komputer sebagai pembantu kejahatan, misalnya seseorang dengan menggunakan komputer menelusuri rekening seseorang yang tidak aktif, kemudian melakukan penarikan dana dari rekening tersebut.
6.    Akses tidak sah terhadap sistem komputer atau yang dikenal dengan hacking. Tindakan hacking ini berkaitan dengan ketentuan rahasia bank, karena seseorang memiliki akses yang tidak sah terhadap sistem komputer bank, sudah tentu mengetahui catatan tentang keadaan keuangan nasabah dan hal-hal lain yang haru dirahasiakan menurut kelaziman dunia perbankan.
7.    Penggelapan, pemalsuan pemberian informasi melalui komputer yang merugikan pihak lain dan menguntungkan diri sendiri.
8.    Hacking, adalah melakukan akses terhadap sistem komputer tanpa izin atau dengan malwan hukum sehingga dapat menebus sistem pengamanan komputer yang dapat mengancam berbagai kepentingan.
9.    Perbuatan pidana perusakan sistem komputer (baik merusak data atau menghapus kode-kode yang menimbulka kerusakan dan kerugian). Perbuatan pidana ini juga dapat berupa penambahan atau perubahan program, informasi, dan media.
10.    Pembajakan yang berkaitan dengan hak milik intelektual, hak cipta, dan hak paten.

Banyak sekali penyalahgunaan yang dilakukan netter. Penyalahgunaan kebebasan yang berlaku di dunia maya kerap membuat netter bersikap ceroboh dan menggampangkan persoalan. Berikut bentuk-bentuk penyalahgunaan itu:
•    Pencurian password, peniruan atau pemalsuan akun.
•    Penyadapan terhdapa jalur komunikasi sehingga memungkinkan bocornya rahasia perusahaan atau instansi tertentu.
•    Penyusupan sistem komputer
•    Membanjiri network dengan trafik sehingga menyebabkan crash
•    Perusakan situs
•    Spamming alias pengiriman pesan yang tidak dikehendaki ke banyak alamat email
•    Penyebaran virus dan worm.

Kejahatan komputer berdasarkan pada cara terjadinya kejahatan komputer itu menjadi 2 kelompok (modus operandinya), yaitu:
A.    Internal crime
Kelompok kejahatan komputer ini terjadi secara internal dan dilakukan oleh orang dalam “Insider”. Modus operandi yang dilakukan oleh “Insider” adalah:
1.    Manipulasi transaksi input dan mengubah data (baik mengurang atau menambah)
2.    Mengubah transaksi (transaksi yang direkayasa)
3.    Menghapus transaksi input (transaksi yang ada dikurangi dari yang sebenarnya)
4.    Memasukkan transaksi tambahan
5.    Mengubah transaksi penyesuaian (rekayasa laporan yang seolah-olah benar)
6.    Memodifikasi software/ termasuk pula hardware

B.    External crime
Kelompok kejahatan komputer ini terjadi secara eksternal dan dilakukan oleh orang luar yang biasanya dibantu oleh orang dalam untuk melancarkan aksinya. Bentuk penyalahgunaan yang dapat digolongkan sebagai external crime adalah:
1.    Joy computing
2.    Hacking
3.    The Trojan horse
4.    Data leakage
5.    Data diddling
6.    To frustrate data communication
7.    Software piracy

5.    Teori-teori yang Melandasi Perkembangan Dunia Maya (Cyber)
Ada beberapa guidance bagi kita untuk mengerti seluk beluk perdagangan secara elektronik dengan melihat teori-teori dibawah ini[3]:
1.    Teori Kepercayaan (vetrowen theory): Teori menjelasan bahwa ada pernyataan objektif yang dipercayai pihak-pihak. Tercapainya kata sepakat dengan konfirmasi tertulis.
2.    Teori Pernyataan (verklarings theory): Keadaan objektif realitas oleh penilaian masyarakat dapat menjadi persetujuan tanpa mempedulikan kehendak pihak-pihak
3.    Teori Kehendak (wills theory): Teori menitikberatkan pada kehendak para pihak yang merupakan unsure essensil dalam pernjanjian.
4.    Teori Ucapan (uitings theorie): Teori ini menganut sistem dimana penawaran ditawarkan dan disetujui maka perjanjian tersebut sudah sempurna dan mengikat kedua belah pihak sebagai undang-undang.
5.    Teori Penawaran (ontvangs theorie): Konfirmasi pihak kedua adalah kunci terjadinya pernjanjian setelah di pihak penerima menerima tawaran dan memberikan jawaban.
6.    Teori Pengetahuan (vernemings theorie): Konsensus dalam bentuk perjanjian tersebut terjadi bila si penawar mengetahui hukum penawaran disetujui walaupun tidak ada konfirmasi.
7.    Teori Pengiriman (verzendings theorie): Bukti pegiriman adalah kunci dari lahirnya pernjajian, artinya jawaban dikirim, pada saat itulah sudah lahir perjanjian yang dimaksud.

Kompetensi relatif dalam dunia maya (cyber) dapat menjadi acuan bagi pihak berperkara dalam dunia maya atas dasar teori-teori berikut ini [3]:
1.    Teori akibat (leer van het gevolg): Teori ini menitikberatkan pada akibat suatu peristiwa hukum yang melawan hukum ditempat dimana tindak pidana itu memunculkan akibat.
2.    Teori alat (leer van instrument): Tempat terjadinya tindak pidana selaras dengan instrument yang digunakan dengan tindak pidana itu
3.    Teori perbuatan materiil (leer van lechamelijke daad): Teori ini menunjuk tempat terjadinya tindak pidana adalah kunci
4.    Teori gabungan: Teori yang juga merupakan gabungan ketiganya: akibat alat dan perbuataan materiil

5.    Aspek Hukum Aplikasi Internet
Aplikasi internet sendiri sesungguhnya memiliki aspek hukum. Aspek tersebut meliputi aspek hak cipta, aspek merek dagang, aspek fitnah dan pencemaran nama baik, aspek privasi [3].
6.    Aspek Hak Cipta
Hak cipta yang sudah diatur dalam UU Hak Cipta. Aplikasi internet seperti website dan email membutuhkan perlindungan hak cipta. Publik beranggapan bahwa informasi yang tersebdia di internet bebas untuk di-download, diubah, dan diperbanyak. Ketidakjelasan mengenai prosedur dan pengurusan hak cipta aplikasi internet masih banyak terjadi.
7.    Aspek Merek Dagang
Aspek merek dagang ini meliputi identifikasi dan membedakan suatu sumber barang dan jasa, yang diatur dalam UU Merek.
8.    Aspek Fitnah dan Pencemaran Nama Baik
Hal ini meliputi gangguan atau pelanggaran terhadap reputasi seseorang, berupa pertanyaan yang salah, fitnah, pencemaran nama baik, mengejek, dan penghinaan. Walau semua tindakan tadi dilakukan dengan menggunakan aplikasi internet, namun tetap tidak menghilangkan tanggung jawab hukum bagi pelakunya. Jangan karena melakukan fitnah atau sekedar olok-olok di email atau chat room maka kita bebas melenggang tanpa rasa bersalah. Ada korban dari perbuatan kita yang tak segan-segan menggambil tindakan hukum
9.    Aspek Privasi
Di banyak negara maju dimana komputer dan internet sudah diaskes oleh mayoritas warganya, privasi menjadi masalah tersendiri. Makin seseorang menggantungkan pekerjaannya kepada komputer, makin tinggi pula privasi yang dibutuhkannya. Ada beberapa persoalan yang bisa muncul dari hal privasi ini. Pertama, informasi personal apa saja yang dapat diberikan kepada orang lain? Lalu apa sajakah pesan informasi pribadi yang tidak perlu diakses orang lain? Apakah dan bagaimana dengan pengiriman informasi pribadi yang anonim.
10.    Asas-asas Yurisdiksi dalam Ruang Siber
Dalam ruang siber pelaku pelanggaran seringkali menjadi sulit dijerat karena hukum dan pengadilan Indonesia tidak memiliki yurisdiksi terhadap pelaku dan perbuatan hukum yang terjadi, mengingat pelanggaran hukum bersifat transnasional tetapi akibatnya justru memiliki implikasi hukum di Indonesia. Menurut Darrel Menthe, dalam hukum internasional, dikenal tiga jenis yuridikasi, yaitu:
1.    Yurisdiksi untuk menetapkan undang-undang (the jurisdiction to prescribe)
2.    Yurisdiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to enforce), dan
3.    Yurisdiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate)

Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku, dikenal beberapa asa yang biasa digunakan, yaitu:
1.    Subjective territoriality: Menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasakan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
2.    Objective territoriality: Menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum di mana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan
3.    Nationality: Menentukan bahwa negara mempunyai yurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
4.    Passive nationality: Menekankan yurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
5.    Protective principle: Menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk menlindungin kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah.
6.    Universality

11.    Keterikaitan Teknologi Informasi dan Perkembangan Siber dengan Instrumen Hukum Nasional di Indonesia
Perkembangan teknologi informasi pada umumnya dan teknologi internet pada khususnya telah mempengaruhi dan setidak-tidaknya memiliki keterkaitan yang signifikan dengan instrumen hukum positif nasional.
12.    UU Perlindungan Konsumen
Subjek, materi muatan, dan pasal yang menyangkut Keterkaitan UU Perlindungan Konsumen dengan Hukum Siber adalah [1]:
1.    Batasan/ Pengertian (Pasal 1 Angka 1)
2.    Hak konsumen (pasal 4 Huruf h)
3.    Kewajiban konsumen (Pasal 5 Huruf b)
4.    Hak pelaku usaha (Pasal 6 huruf b)
5.    Kewajiban pelaku usaha (Pasal 7 huruf a, b, d, e)
6.    Perbuatan pelaku usaha yang dilarang (Pasal 11)
7.    Pasal 17
8.    Klausula baku (Pasal 1 Angka 10, Pasal 18)
9.    Tanggung Jawab pelaku usaha (Pasal 20)
10.    Beban pembuktian (Pasal 22)
11.    Penyelesaian sengketa (Pasal 45)
12.    Pasal 46
13.    Sanksi (Pasal 63)

14.    Hukum Perdata Materil dan Formil
Subjek, materi muatan, dan pasal yang menyangkut keterkatian Hukum Perdata Materil dan Formil dengan Hukum Siber adalah:
1.    Syarat-syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320)
2.    Perbuatan melawan hukum (Pasal 1365)
3.    Beban pembuktian (Pasal 1865)
4.    Tentang akibat suatu perjanjian (Pasal 1338)
5.    Alat-alat bukti (Pasal 1866)
6.    Alat bukti tulisan (Pasal 1867, Pasal 1868, Pasal 1869, Pasal 1870, Pasal 1871, Pasal 1872, Pasal 1873, Pasal 1874, Pasal 1874 a, Pasal 1875, Pasal1876, Pasal 1877, Pasal 1878, Pasal 1879, Pasal 1880, Pasal 1881, Pasal 1882, Pasal 1883, Pasal 1884, Pasal 1885, Pasal 1886, Pasal 1887, Pasal 1888, Pasal 1889, Pasal 1890, Pasal 1891, Pasal 1892, Pasal 1893, Pasal 1894).
7.    Tentang pembuktian saksi-saksi (Pasal 1902, Pasal 1905, Pasal 1906)

15.    Undang-Undang Hukum Pidana
Subjek, materi muatan, dan pasal yang menyangkut keterkaitan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Hukum Siber adalah:
1.    Tentang Pencurian (Pasal 362)
2.    Tentang pemerasan dan pengancaman (Pasal 369, Pasal 372)
3.    Tentang perbuatan curang (Pasal 386, Pasal 392)
4.    Tentang pelanggaran ketertiban umum (Pasal 506)
5.    Pasal 382 bis
6.    Pasal 383

16.    UU No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
Subjek, materi muatan, dan pasal yang menyangkut keterkaitan UU No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi dengan Hukum Siber  adalah:
1.    Batasan/ Pengertian telekomunikasi (Pasal 1 Angka 1, 4, 15)
2.    Larangan praktek monopoli dan persaingan tidak sehat dalam bidang telekomunikasi (Pasal 10)
3.    Hak yang sama untuk menggunakan jaringan telekomunikasi (Pasal 14)
4.    Kewajiban penyelenggara telekomunikasi (Pasal 17)
5.    Pasal 18 Ayat (1) dan Ayat (2)
6.    Pasal 19
7.    Pasal 21
8.    Pasal 22
9.    Penyelenggaraan telekomunikasi (Pasal 29)
10.    Perangkat telekomunikasi (Pasal 32 Ayat (1))
11.    Pengamanan telekomunikasi (Pasal 38)
12.    Pasal 40
13.    Pasal 41
14.    Pasal 42 Ayat (1) dan Ayat (2)
15.    Pasal 43


16.    Council of Europe Convention on Cybercrime (COECCC)
Merupakan salah satu contoh organisasi internasional yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan di dunia maya, dengan mengadopsikan aturan yang tepat dan untuk meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan hal ini.
COCCC telah diselenggarakan pada tanggal 23 November 2001 di kota Budapest, Hongaria. Konvensi ini telah menyepakati bahwa Convention on Cybercrime dimasukkan dalam European Treaty Series dengan nomor 185. Konvensi ini akan berlaku secara efektif setelah diratifikasi oleh minimal lima Negara, termasuk paling tidak ratifikasi yang dilakukan oleh tiga Negara anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan criminal yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cybercrime, baik melalui undang-undang maupun kerja sama internasional.  Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan antara lain sebagai berikut:
1. Bahwa masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama antar Negara dan Industri dalam memerangi kejahatan cyber dan adanya kebutuhan untuk melindungi kepentingan yang sah dalam penggunaan dan pengembangan teknologi informasi.

2. Konvensi saat ini diperlukan untuk meredam penyalahgunaan sistem, jaringan dan data komputer untuk melakukan perbuatan kriminal. Hal lain yang diperlukan adalah adanya kepastian dalam proses penyelidikan dan penuntutan pada tingkat internasional dan domestik melalui suatu mekanisme kerjasama internasional yang dapat dipercaya dan cepat.

3. Saat ini sudah semakin nyata adanya kebutuhan untuk memastikan suatu kesesuaian antara pelaksanaan penegakan hukum dan hak azasi manusia sejalan dengan Konvensi Dewan Eropa untuk Perlindungan Hak Azasi Manusia dan Kovenan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1966 tentang Hak Politik Dan sipil yang memberikan perlindungan kebebasan berpendapat seperti hak berekspresi, yang mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi/pendapat.
Konvensi ini telah disepakati oleh masyarakat Uni Eropa sebagai konvensi yang terbuka untuk diakses oleh Negara manapun di dunia. Hal ini dimaksudkan untuk diajdikan norma dan instrument Hukum Internasional dalam mengatasi kejahatan cyber, tanpa mengurangi kesempatan setiap individu untuk tetap dapat mengembangkan kreativitasnya dalam pengembangan teknologi informasi.

Different Themes
Written by Templateify

Aenean quis feugiat elit. Quisque ultricies sollicitudin ante ut venenatis. Nulla dapibus placerat faucibus. Aenean quis leo non neque ultrices scelerisque. Nullam nec vulputate velit. Etiam fermentum turpis at magna tristique interdum.

This is the most recent post.
Posting Lama

0 komentar