Open top menu
Selasa, 04 Maret 2014

BAB I: Keutamaan-Keutamaan Membaca Al-Qur’an, Surat-Surat Dan Ayat-Ayat Tertentu



 A. Sebagian orang berpendapat bahwa membaca Al-Qur’an tanpa memahami maknanya itu adalah sia-sia dan tidak berfaedah dan juga tidak berpahala. Apakah ini benar?

1. Dari Abi Umamah ra. Aku mendengar dari Rasulullah saw beliau bersabda: “Bacalah al-Qur’an karena sesungguhnya al-Qur’an akan datang pada hari kiamat memberikan syafaat kepada para pemiliknya”. (HR. Muslim)

Dalam hadist ini, Nabi SAW menyuruh untuk membaca Al-Quran dan TIDAK MEMERINTAHKAN UNTUK MENAFSIRKAN DAN MENERJEMAHKAN. Maka membaca itu sendiri merupakan ibadah yang pembacanya akan diberi pahala dan berhak  mendapatkan syafaat dari Rasulullah SAW di hari kiamat.

2. Rasulullah saw bersabda: “Sebaik-baiknya orang  diantar kamu sekalian adalah orang yang membaca dan mengamalkan al-Qur’an”. (HR. Bukhari)

Hadits ini menunjukkan bahwa barang siapa yang mempelajari Al-Qur’an telah menjadi sebaik-baik manusia. Dan sudah diketahui dalam agama kita bahwa barang siapa yang mulai belajar membaca Al-Qur’an dan tidak mengetahui tafsirnya ataupun maknanya, bahkan kesulitan sekalipun hanya dalam membacanya saja, maka yang demikian itu sudah menjadi sebaik-baik manusia, ini menunjukkan bahwa membaca Al-Qur’an saja bukanlah merupakan hal yang sia-sia melainkan merupakan suatu ibadah yang mendapatkan pahala.

3. Rasulullah saw bersabda: “orang yang membaca al-Qur’an dan ia pintar didalamnya, ia bersama malaikat Safaratil Kiramil Bararah. Orang yang membaca al-Qur’an dan terbata-bata dan ia merasakan berat membacanya, dia mendapatkan dua pahala”. (HR. Muttafaqun ‘Alaih)

Hadist ini menunjukkan bahwa orang-orang yang kesulitan membawa Al-Qur’an dan terbata-bata dalam membacanya akan mendapatkan dua pahala, pembaca Al-Qur’an meskipun umumnya tidak mengetahui tafsirnya dan juga maknanya akan diberi pahala. Dan ini juga menunjukkan bahwa membaca Al-Qur’an itu bukan merupakan hal sia-sia melainkan suatu ibadah yang berpahala.

4. Sesungguhnya dengan kitab ini Allah mengangkat derajat beberapa kaum dan merendahkan sebagian kaum yang lain. (HR. Muslim)

5. Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitabullah (al-Qur’an), maka baginya satu kebaikan dan satu kebaikan sebanding dengan sepuluh kebikan itu. Tidak aku katakan, alif lam mim itu satu huruf tetapi alif adalah satu huruf, lam adalah satu huruf dan mim adalah satu huruf. (HR. Turmudzi, merupakan hadist hasan shahih)

Dan hadist ini sudah jelas bahwa membaca (Al-Qur’an) tanpa memahami maknanya, diberikan pahala atasnya dan bukan merupakan hal yang sia-sia.

RASULULLAH SAW BERSABDA: “SESUNGGUHNYA MEMBACA SATU HURUF DARI AL-QUR’AN ATAU TIGA HURUF SEPERTI “QAAF” ATAU “NUUN” ATAU “ALIF LAAM MIIM” MENDAPATKAN PAHALA MESKIPUN KITA TIDAK MENGETAHUI MAKNANYA.

BANTAHAN (Abu Mundzir Al-Ghifary) :

Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah :

“Sesungguhnya ilmu ini adalah Dien. Maka lihatlah olehmu dari siapa kamu mengambil Dienmu. ” (Muqaddimah Shahih Muslim 1/14) Berkata Ibnul Qayyim Al Jauziyyah dalam kitabnya, Miftah Daarus Sa’adah)

Maka peringatan beliau rahimahullah ini agar kita tidak sembarangan mengambil ‘ilmu dari seseorang, maka lihatlah aqidahnya, manhajnya, akhlaqnya. Dan dilarang keras mengambil ‘ilmu dari orang orang yang jalannya menyimpang dari alhaq.

Mengenai membaca AlQur’an maka banyak Ayat Alqur’an dan hadits shahih yang memerintahkannya :
Dan semua ayat alqur’an dan hadits tersebut tidak boleh difahami sebagai PEMBATASAN, bahwa manusia cukup membacanya saja tanpa mempelajari maknanya, sbagaimana yg ditulis oleh sang kyai tsb. Krna melihat konteks arah penulisan si fulan ini maka dia telah menutupi tujuan aslinya dari perkataan yang telah dia lontarkan itu. Dia munculkan banyak pahala baca alqur’an dan dia samarkan kewajiban memahaminya. Dan justru dia meremehkan BAHAYA dari tidak memahami makna alqur’an dengan mengatakan : “Nabi SAW menyuruh untuk membaca Al-Quran dan TIDAK MEMERINTAHKAN UNTUK MENAFSIRKAN DAN MENERJEMAHKAN”

Maka orang ini telah terjerumus ke dalam kedustaan yg nyata krna didorong oleh hawa nafsunya yang ingin menyerang pemahaman ahlussunnah yg pada hari ini getol giat dalam majlis ta’lim yg berpegang teguh pada alqur’an wassunnah yang di dalam majlis itu senantiasa membahas Alqur’an dan Assunnah. Serta kedustaan ini dia bangun dalam rangka melegalkan kebid’ahan mereka yang rata rata berisi dzikir dzikir dan bacaan Alqur’an, Khotmil qur’an, dan yang semisal dengan tanpa ada bahasan mengenai pemahamannya  secara luas di atas ‘ilmu yg benar. Mereka hanya menyampaikan keutamaan pahala saja tapi justru meremehkan wajibnya kita meng’ilmuinya dengan memahami ma’nanya.

Bagaimana mungkin perkataan  Rasulullah tidak mememerintahkan untuk menafsirkan, menterjemahkan, memahami Alqur’an ini bisa dibenarkan sedangkan Allah Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk meng’ilmuinya, dan bahkan Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam memerintahkan untuk mempelajari ‘ilmu agama dengan berpegang keduanya. Bagaimana kita bisa berpegang pada keduanya kalau maknanya saja tidak faham???

Dan ciri dari orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah Azza wa Jalla adalah dia difaqihkan terhadap agama ini, bagaimana mungkin bisa dikatakan faqih bila tak mengerti maknanya/artinya.

Sedangkan kita telah diberitahu oleh Allah Azza wa Jalla bahwasanya sifat asal manusia adalah bodoh tidak mengetahui apapun. Tidak mengerti untuk apa ia diciptakan, bagaimana ia hidup, dan mau kemana tujuan hidupnya.

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

“Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” [Q.S. Al Ahzab:72].

Karenanya, banyak orang yang tidak mengetahui kemaslahatan dan kebaikan sekalipun untuk dirinya sendiri di dunia, apalagi di akhirat.

Oleh sebab itulah Allah Yang Maha Bijaksana menurunkan kitab-kitab-Nya dan mengutus para rasul-Nya  untuk membimbing dan mengarahkan manusia. Hal ini untuk mengajarkan kepada mereka kemaslahatan sekaligus kemadharatan bagi manusia agar selamat dan berbahagia dalam menjalani kehidupan ini.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Allah mengajarkan kepada manusia perkara yang tidak ia ketahui.” [Q.S. Al Alaq:5].

Kita bisa menggunakan mata untuk melihat tanda-tanda keagungan-Nya, telinga untuk mendengar ayat-ayat-Nya, serta kalbu untuk merenungi, memahami, dan menyakininya. Baik ayat kauniyah maupun syar’iyah. Ayat kauniyah berupa alam semesta dan ayat syar’iyah berupa firman-Nya berikut penjelasaan rasul-Nya `.

Inilah ilmu yang hakiki. Yaitu bagaimana mengenal Allah, nama dan sifat-Nya, hak-hak-Nya atas hamba, mengenal Rasul-Nya, bimbingan dan petuah beliau serta mengenal agama-Nya.

Allah berfirman:

 “Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan) yang benar untuk diibadahi selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.” [Q.S. Muhammad:19].

Dalam ayat ini Allah memerintahkan dua perkara kepada Nabi-Nya `.

Yang pertama perintah BERILMU kemudian yang kedua perintah untuk BERAMAL. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukaan ilmu didahulukan daripada amal, sekaligus menunjukkan pula bahwa ilmu adalah syarat keabsahan ucapan dan amalan. Artinya jika kita berucap atau beramal tanpa didasari ilmu maka tidak sah.

Demikian sebagaimana disebutkan dalam Hasyiah Tsalatsatul Ushul.Berdalil dengan ayat ini pula Imam Al Bukhari membuat bab khusus dalam kitab Shahih beliau, ‘Bab mengilmui dahulu sebelum berucap dan beramal.’

Rasulullah ` juga bersabda dalam hadits Anas bin Malik:

طلب العلم فريضة على كل مسلم

”Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim.” [H.R. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At-Targhib]. Imam Ahmadv menjelaskan bahwa wajib atas setiap orang untuk menuntut ilmu yang bisa menegakkan agama. Yaitu ilmu yang tidak ada kelonggaran untuk tidak mengetahuinya, tentang shalatnya, puasanya dan yang semacamnya.

Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

 يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَتٍۗ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبْيْرٌ ۝

Artinya: “niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui atas apa yang kalian kerjakan.”

 (Qs. Al-Mujadilah: 11)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,

إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَـذَا الْكِـتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ .

Artinya: “Sesungguhnya Allah mengangkat dengan Al-Qur’an beberapa kaum dan Allah pun merendahkan beberapa kaum dengannya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 817) dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu’anhu]

Dalil di atas dengan menegaskan bahwa orang yang berilmu dan mengamalkannya maka kedudukannya akan diangkat oleh Allah di dunia dan akan dinaikkan derajatnya di akhirat.

Allah ‘Azza wa Jalla menolak persamaan antara orang-orang yang memiliki ilmu dengan orang-orang yang tidak memiliki ilmu. Sebagaimana Dia menolak persamaan antara para penghuni Surga dengan para penghuni Neraka. Allah berfirman,

قُـلْ هَـلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُونَۗ … ۝

Artinya: “Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (Qs. Az-Zumar: 9)

Ayat di atas berbentuk kalimat tanya, akan tetapi pada hakikatnya mengandung arti pengingkaran. Karena orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu tidak akan pernah setara kedudukannya. Yang dapat memahami maksud tersebut hanyalah orang yang cerdas, sehingga dia dapat mengetahui nilai ilmu, kedudukan dan keutamannya. [Lihat Bahjatun Nazhirin (II/462) dan Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/284)]

Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (QS. Al-Jumu’ah: 5)

Sementara itu, dalam firman-Nya yang lain, Allah Ta’ala menyatakan,

لاَيَسْتَوِى أَصْحَبُ النَّارِ وَأَصْحَبُ الْجَنَّةِۗ … ۝

Artinya: “Tidak sama (antara) para penghuni Neraka dengan para penghuni Surga…” (Qs. Al-Hasyr: 20)

Ini menunjukkan tentang puncak dari keutamaan dan kemuliaan orang yang berilmu. Bahkan, karena kemuliaan ilmu, Allah membolehkan kita untuk memakan hasil buruan anjing yang terlatih (untuk berburu) dan mengharamkan memakan buruan anjing yang tidak terlatih.

Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu: ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah: ‘Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.’”(Qs. Al-Ma’idah: 4)

Adapun tingkatan ilmu yang dimiliki oleh seseorang terbagi dalam enam tingkatan, yaitu:

1. Al-‘Ilmu, maksudnya adalah mengetahui sesuatu dengan yakin sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.

2. Al-Jahlul Basith, maksudnya adalah tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu hal tertentu, sama sekali.

3. Al-Jahlul Murakkab, maksudnya tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu hal tertentu, namun dia mengaku memiliki pengetahuan tentang itu, padahal keliru dan tidak sesuai dengan realita. Disebut murakkab yang artinya bertingkat, karena terdapat dua kebodohan sekaligus pada orang tersebut, yaitu bodoh karena dia tidak mengetahui yang sebenarnya dan bodoh karena dia beranggapan bahwa dia mengetahui yang sebenarnya, padahal dia tidak mengetahui.

4. Azh-Zhann, maksudnya adalah mengetahui sesuatu yang kemungkinan benarnya lebih besar dari pada salahnya. Kata yang mirip dalam bahasa kita adalah dugaan kuat.

5. Al-Wahm, maksudnya adalah mengetahui sesuatu yang kemungkinan salahnya lebih besar dari pada benarnya. Atau mirip dengan dugaan lemah atau salah paham.

6. Asy-Syakk, maksudnya adalah mengetahui sesuatu yang kemungkinan benar dan salahnya seimbang.

[Lihat Syarah Tsalatsatil Ushul (hal. 18-19), Syarh Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 71-72), Ushul Fiqh Terjemah (hal. 25), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 16-17)]

Sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman,

قُلْ هَـذِهِ سَبِيْلِى أَدْعُواإِلَى اللهِۚ عَلَى بَصِيْرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِىۖ … ۝

Artinya: “Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku yang lurus, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan ilmu.’” (Qs. Yusuf: 108)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru manusia kepada agama Allah atas dasar ilmu (بصيرة ), keyakinan (يقين ), dalil syar’i (برهان شرعي ), dan dalil aqli (عقلي ). [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (IV/422)]

ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu yang menjadi penyakit dalam agama dan memiliki kecenderungan untuk menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan, seperti ilmu kalam (logika), ilmu filsafat, dan semisalnya. Selain itu, ada juga ilmu yang tercela, seperti ilmu sihir dan perdukunan. Ilmu tersebut merupakan ilmu yang tidak bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia apalagi di akhirat.

Yahya bin ‘Ammar rahimahullah pernah berkata, “Ilmu itu ada lima (jenis), yaitu: (1) ilmu yang menjadi ruh (kehidupan) bagi agama, yaitu ilmu tauhid; (2) ilmu yang merupakan santapan agama, yaitu ilmu yang mempelajari tentang makna-makna Al-Qur’an dan hadits; (3) ilmu yang menjadi obat (penyembuh) bagi agama, yaitu ilmu fatwa. Ketika seseorang tertimpa sebuah musibah maka ia membutuhkan orang yang mampu menyembuhkannya dari musibah tersebut, sebagaimana pernah dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu. (4) ilmu yang menjadi penyakit dalam agama, yaitu ilmu kalam dan bid’ah, dan (5) ilmu yang merupakan kebinasaan bagi agama, yaitu ilmu sihir dan yang semisalnya.” [Lihat Majmu’ Fatawa (X/145-146), Siyar A’lamin Nubala’ (XVII/482), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 28-29)]

Adapun pengertian dari ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa keterangan dan petunjuk, dimana mempelajari ilmu ini berhak mendapatkan pujian dan sanjungan. [Lihat Kitabul ‘Ilmi (hal. 13), Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 15), Bahjatun Nazhirin (II/461), dan Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/281)]

Imam Al-Auza’i rahimahullah berkata, “Ilmu (yang bermanfaat) adalah apa yang berasal dari para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan apa saja yang datang bukan dari salah seorang dikalangan mereka maka itu bukanlah ilmu (yang bermanfaat).” [Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi (I/500, no. 1067 dan I/617, no. 1421), Fadhlu ‘Ilmi Salaf (hal. 42), Bahjatun Nazhirin (II/461), Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/283), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 16 dan 22)]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pun pernah berkata, “Ilmu adalah apa yang dibangun di atas dalil, dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang ada ilmu yang tidak berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dalam urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung (matematika), ilmu pertanian, dan ilmu perdagangan.” [Lihat Majmu’ Al-Fatawa (VI/388 dan XIII/136), Madarijus Salikin (II/488), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 20-21)]

Al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah pernah berkata, “Ilmu adalah firman Allah, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan perkataan para Shahabat.” [Lihat I’lamul Muwaqqi’in (II/149) dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 22)]

METODE PEMAHAMAN yang benar harus dilandasi dengan 3 landasan sebagai berikut:
1. Al-Qur'anul Karim
2. Sunnah shahihah (hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih)
3. Al-Qur'an dan Sunnah wajib dipahami dengan pemahaman sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tabi'in serta tabiut tabi'in.

Al-Qur'an dan sunnah wajib dipahami sejalan dengan manhaj Salafus Shalih dari kalangan para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tabi'in (orang yang berguru kepada tabi'in), yaitu pada tiga masa yang pertama (100H-300H) yang telah diberi persaksian oleh hadits-hadits yang telah dimaklumi, bahwa masa itu adalah masa sebaik-baik umat. Semua ini berdasarkan pada dalil-dalil yang cukup sehingga menjadikan kita mengatakan dengan pasti bahwa setiap orang yang memahami Islam dan Al-Qur'an dan hadits tanpa disertai landasan yang ketiga ini, pasti akan "datang" dengan membawa ajaran Islam yang baru.

Bukti terbesar dari hal ini, adanya kelompok-kelompok Islam yang (semakin) bertambah tiap hari. Penyebabnya karena tidak berpegang teguh pada tiga landasan ini, yaitu Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam dan Pemahaman Salafus Shalih.

Inti masalahnya, bahwa penyebab kesesatan seluruh kelompok-kelompok sejak masa lampau maupun sekarang, adalah tidak berpegang pada landasan yang ketiga in, yaitu memahani Al-Qur'an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman (manhaj) Salafus Shalih.

Mu'tazilah, Murji'ah, Qadariyyah, Asy'ariyyah, Maturidiyyah dan seluruh penyelewengan yang terdapat pada kelompok-kelompok itu penyebabnya adalah karena mereka tidak berpegang teguh pada pemahaman Salafus Shalih, oleh karena itu para ulama' peneliti berkata.

وَكُلُّ خَيْرٍ فِي اتِّبَاعِ مَنْ سَلَفَ وَكُلُّ شَرِّ فِي ابْتِدَاعِ مَنْ خَلَفْ

Segala kebaikan tertumpu dalam mengikuti Salafush Shalih. "Segala kejahatan tertumpu pada bid'ah para Khalaf (generasi sesudah Salaf)"

Ini bukan sya'ir, ini adalah perkataan yang disimpulkan dari Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Allah berfirman.

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali" [An-Nisa'/4 : 115]

Syubhat dari penulis kitab muqtathofat li ahlilbidayaat ini sangat samar bagi yg tidak mengetahuinya, tetapi tidak bagi yang senantiasa berpegangteguh pada alqur’an wassunnah. Sebagaimana perkataan para ulamaa’ yakni  kalimat haq urida biha bathil (kalimat yang benar, tapi dimaksudkan untuk hal yang keliru)''

Bahasa jawanya : sing penting moco qur’ane, wong yo wis entuk pahala akeh.
Padahal yang diinginkan adalah “MALAS” mempelajari Alqur’an dan assunnah.
Dan khawatir jika banyak orang pinter maka terbongkarlah kedusta’an para ahlulahwaa’ walbidaa’.
Mereka lebih senang jika pengikutnya dalam kebodohan sehingga mudah sekali dikibuli dengan perkataan sang kyai “Wis nek masalah ngene iki urusane kyaine”.

Dan penulis berani menambahkan perkataannya melebur dalam hadits Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam seolah olah bahwa perkataan tersebut bagian dari hadits, padahal perkataan itu hanyalah tambahan dari penulis yg seharusnya ada pemisahnya agar tidak membuat salah faham bagi pendengarnya.

Firman Allah Ta'ala:

Apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci) ( Surat Muhammad: ayat 24 )


Firman Allah Ta'ala:

ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.

( Surat Shaad: ayat 29 )

Wallahua’lam bishshowaab.
Different Themes
Written by Templateify

Aenean quis feugiat elit. Quisque ultricies sollicitudin ante ut venenatis. Nulla dapibus placerat faucibus. Aenean quis leo non neque ultrices scelerisque. Nullam nec vulputate velit. Etiam fermentum turpis at magna tristique interdum.

0 komentar