Open top menu
Minggu, 01 Juni 2014

BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu tema kemanusiaan yang dicanangkan dalam Al Qur’an adalah pelarangan riba. Riba termasuk “sub sistem“ ekonomi yang berprinsip menguntungkan kelompok orang tertentu tetapi mengabaikan kepentingan masyarakat luas. Kita sebagai kaum muslimin perlu mengetahui hakikat riba serta keburukan yang terkandung di dalamnya sehingga dapat membentengi dan tidak menjerumuskan diri ke dalam berbagai transaksi ribawi.
Kemudian ketika orang Islam mulai melakukan kontak dengan peradaban Barat, dimana perbankan bagian dari peradaban mereka dalam aspek ekonomi , lambat laun banyak orang Islam merasakan besarnya peranan lembaga perbankan dalam tata ekonomi modern. Yang menjadi permasalahan adalah bank, dimana bank menempuh sistem bunga. Sedangkan formula bunga sejalan dengan riba, sebagaimana yang dilarang oleh Al Qur’an. Sehingga, dewasa ini di dunia Islam (masyarakat Islam) masih dirasakan perlu membicarakan masalah perbankan yang berlaku di dunia yang menggunakan sistem bunga.
Sedangkan dampak negatif yang diakibatkan dari riba sangat berbahaya bagi kehidupan manusia secara individu, keluarga, masyarakat, dan berbangsa. Jika praktek riba ini tumbuh subur di masyarakat, maka terjadi sistem kapitalis di mana terjadi pemerasan dan penganiayaan terhadap kaum lemah. Orang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Riba
Riba adalah penambahan sejumlah harta yang bersifat khusus, Menurut ensiklopedia islam Indonesia: Ar-Riba atau ar-Rima makna asalnya ialah tambah,  tumbuh, dan subur. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak seperti yang diisyaratkan dalam al-Qur’an.
 Menurutr bahasa riba mempunyai beberapa pengertian yaitu :
1.    bertambah (  الزيادة  ), karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.         
2.    berkembang, berbunga ( النام  ), karena salah satu dari perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.
3.  berlebihan atau menggelembung, kata-kata ini berasal dari firman Allah :
اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ
“Bumi jadi subur dan gembur” ( Q.S: Al-Haj:5)
Sedangkan  menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut Al-Mali ialah:
“Akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syara’, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya”.
4. Menurut Abdurrahman al-Jaiziri, yang dimaksud dengan riba ialah:
“Akad yang  terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat salah satunya.
4. Syaikh Muhammad Abduh  berpendapat bahwa yang dimaksud dengan riba ialah:
    “penambahan-penambahan yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uang), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.”
3. Menurut Al-jurjani Riba adalah:
    “kelebihan atau tambahan pembayaran tanpa ada ganti atau tambahan, yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat aqad atau transaksi.”
4. Riba menurut istilah hukum syara’ artinya tambahnya emas perak atau semua makanan dengan cara tertentu.
    Sedangkan menurut ulama fiqh mengenai riba antara lain :
1.    Menurut Ulama Hanabilah adalah:
اَلزيا دة فى اَشَيَا ءَ مَخصٌوص
“ Pertambahan sesuatu  yang dikhususkan “.
2.    Menurut Ulama Hanafiyah adalah :
فْصْلٌ مَا ل بلاَ عَوْد فى مٌعَاوَضَة مَال بمال
“ Tambahan pada harta pengganti dalam pertukaran harta dengan harta “
    Misalnya si A memberi pinjaman kepada si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang pokok beserta sekian persen tambahanya.

B.    Dasar Hukum
1. Al-Qur’an
Sebagai dasar riba dapat diperhatikan Firman Allah SWT, sebagai berikut;

واحل الله البيع وحرم الربا (البقرة : ٢٧٥)

Artinya.
“Sesungguhnya Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Al- Baqoroh / 2:275).
Pada ayat ini juga disebutkaan:
 يَآيُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْ الاَتَأْ كُلُوالرِّ بوااضْعَافًا مُّضَعَفَةً وَّاتَّقُوْ اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya:
“Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan” (Q.S: Ali imran/3 : 130)
2.    Hadis
Dalam sebuah hadits dijelaskan konsekuensi kaharaman itu, terdapat sanski sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
عن جا بر رضى الله عنه قال : لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم اكل الربا ومو كله وكا ثبه وشا هد يه. وقال :  هم سوا ء (رواه مسلم)

Artinya:
“Dari Jabir, Rasulullah SAW. Melaknat yang memakan riba, yang mewakilinya, penulisnya dan kedua saksinya dan Rasul berkata, mereka semua berdosa.” (Riwayat Muslim dari Jabir)

وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: اَلرِّبَا ثَلَاثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ اَلرَّجُلُ أُمَّهُ, وَإِنَّ أَرْبَى اَلرِّبَا عِرْضُ اَلرَّجُلِ اَلْمُسْلِمِ.
) رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ مُخْتَصَراً, وَالْحَاكِمُ بِتَمَامِهِ وَصَحَّحَهُ(

“Dari Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Riba itu mempunyai 73 pintu, yang paling ringan ialah seperti seorang laki-laki menikahi ibunya dan riba yang paling berat ialah merusak kehormatan seorang muslim." (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan ringkas dan Hakim dengan lengkap, dan menurutnya hadits itu shahih).

3.    Ijma’ yang Mengharamkan Riba
Kaum muslimin seluruhnya telah bersepakat bahwa asal dari riba adalah diharamkan, terutama sekali riba pinjaman atau hutang. Bahkan mereka telah bersepakat dalam hal itu pada setiap masa dan tempat. Para ulama Ahli Fiqih seluruh madzhab telah menukil ijma’ tersebut. Memang ada perbedaan pendapat tentang sebagian bentuk masalahnya, apakah termasuk riba atau tidak dari segi praktisnya, namun tidak bertentangan dengan asal ijma’ yang telah diputuskan dalam persoalan itu.

C. Sebab-sebab Haramnya Riba
1.  Karena Allah dan Rasul-Nya melarang atau mengharamkannya.
Hukum riba ini adalah haram dan juga termasuk dosa yang sangat besar bagi orang yang melanggarnya, maka Allah  SWT melarang dan juga mengharamkan dalam Firmannya :
واحل الله البيع وحرم الربا (البقرة : ٢٧٥)
    Artinya:
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-baqarah : 275).

    Dan juga dalam sabda Nai Saw :
عن جا بر رضى الله عنه قال : لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم اكل الربا ومو كله وكا ثبه وشا هد يه. وقال :  هم سوا ء (رواه مسلم)

    “Jabir ra berkata : Bahwasannya Rasulullah saw mela’nat orang yang makan riba dan orang yang memberikan makanan riba, orang yang mencatat dan orang-orang yang menyaksikan riba. Rasulullah melanjutkan sabdanya : mereka sama. (dalam berlaku ma’siat dan dosa”. (HR. Muslim)
2.    karena riba menghendaki pengambilan harta orang lain dengan tidak ada timbangannya dan juga denagn cara yang tidak dikehendak oleh Allah.
3.    dengan melakukan riba, orang tersebut menjadi malas berusaha yang sah menurut syara’.
4.    riba menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama manusia dengan cara utang-piutang atau menghilangkan faedah utang piutang sehingga riba lebih cenderung memeras orang miskin dari pada menolong orang miskin.
Menurut Imam al-Ghazali “ Bahwasannya uang hanya dapat dijadikan standar penetapan harga dan juga sebagai alat tukar, oleh karena itu uang sendiri tidak memiliki nilai intrinsik, maka ia tidak akan memainkan peranan sebagai uang dan seperti barang-barang niaga lainnya. Maka Riba adalah seseorang mendapatkan uang dari uang, dari uang yang sedikit menjadi uang yang lebih banyak”.

Proses keharaman riba disyariatkan Allah SWT secara bertahap
a. Tahap pertama :
Allah SWT menunjukkan bahwa riba itu bersifat negatif.
Dalam surat Ar-Ruum Allah ta’ala berfirman:

وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُون

“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan pahalanya”. (QS. Ar-Ruum: 39).

Ayat tersebut tidak mengandung ketetapan hukum pasti tentang haramnya riba. Karena kala riba memang belum diharamkan. Riba baru diharamkan di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di kota Al-Madinah. Hanya saja ini mempersiapkan jiwa kaum muslimin agar mampu menerima hukum haramnya riba yang terlanjur membudaya kala itu.

b. Tahap kedua :
Allah SWT telah memberi isyarat akan keharaman riba melalui kecaman terhadap praktik riba dikalangan masyarakat Yahudi.
Dalam surat An-Nisaa, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا – وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’: 160-161)

Ayat di atas menjelaskan diharamkannya riba terhadap orang-orang Yahudi. Ini merupakan pendahuluan yang amat gamblang, untuk kemudian baru diharamkan terhadap kalangan kaum muslimin. Ayat tersebut turun di kota Al-Madinah sebelum orang-orang Yahudi menjelaskannya.

c. Tahap ketiga :
Allah SWT mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu yang bersifat berlipat ganda dengan larangan yang tegas.
Dalam surat Ali Imran Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imraan: 130)

Ayat di atas mejelaskan bahwa riba diharamkan karena dikaitkan dengan suatu tambahan yang berlipat ganda. para ahli tafsir berpendapat behwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak di praktekan pada masa tersebut tapi bukan menjadi persyaratan diharamkanya riba.

d. Tahap keempat
Allah SWT mengharamkan riba secara total dengan segala bentuknya.
Turunlah beberapa ayat pada akhir surat Al-Baqarah, yaitu:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (٢٧٨)فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ (٢٧٩(

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 275-279)

Ayat-ayat ini adalah ayat-ayat tentang riba yang terakhir diturunkan dalam Al-Qur’an Al-Karim.
Riba diharamkan dalam semua syariat yang diturunkan Allah kepada para Nabi. Diharamkannya riba tidak hanya berlaku dalam syariat Islam yang diturunkan kepada nabi Muhammad saja. Tapi dalam seluruh syariat yang diturunkan oleh Allah SWT.

D. Macam-macam Riba
1. Menurut Jumhur Ulama
Membagi riba dalam 2 bagian:
a. Riba Fadhl
Adalah jual beli yang mengandung unsur riba pada barang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut.
Dijelaskan juga riba fadhl adalah riba dengan sebab tukar menukar benda, barang sejenis (sama) dengan tidak sama ukuran jumlahnya. Misalnya satu ekor kambing ditukar dengan satu ekor kambing yang berbeda besarnya satu gram emas ditukar dengan seperempat gram emas dengan kadar yang sama. Sabda Rasul SAW:

عَنْ آبِى سَعِيْدٍ ن الْجُدْرِيِّ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَبِيْعُوْاالذَّهَبِ اِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِفُّوْا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلاَتَبِعُواالْوَرِقَ بِالْوَرِقِ اِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِقُوْابَعْضَهَاعَلَى بَعْضٍ وَلاَتَبِعُوْامِنْهَاغَائِبًابِنَاجِزٍ ( متفق عليه(
Artinya:
“ Dari Abi Said Al Khudry, sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah bersabda, Janganlah kamu jual emas dengan emas kecuali dalam timbangan yang sama dan janganlah kamu tambah sebagian atas sebagiannya dan janganlah kamu jual uang kertas dengan uang kertas kecuali dalam nilai yang sama, dan jangan kamu tambah sebagian atas sebagiannya, dan janganlah kamu jual barang yang nyata (riil) dengan yang abstrak (ghaib).” (muttafqun ‘alaih)
b. Riba Nasi’ah
Menurut ulama Hanafiyah riba Nasi’ah adalah memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda dibanding utang pada benda yang ditakar atau ditimbang yang berbeda jenis atau selain dengan yang ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya.
Dijelaskan juga Riba Nasi’ah adalah tambahan yang disyaratkan oleh orang yang mengutangi dari orang yang berutang sebagai imbalan atas penangguhan (penundaan) pembayaran utangnya. Misalnya si A meminjam uang Rp. 1.000.000,- kepada si B dengan perjanjian waktu mengembalikannya satu bulan, setelah jatuh tempo si A belum dapat mengembalikan utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi memberi tambahan pembayaran jika si B mau menunda jangka waktunya. Contoh lain, si B menawarkan kepada si A untuk membayar utangnya sekarang atau minta ditunda dengan memberikan tambahan. Mengenai hal ini Rasulullah SAW. Menegaskan bahwa:

عَنْ سَمَرَةِ بْنِ جُنْدُبٍ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهى عَنْ بَيْعِ الَحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْئَةً
 (رواه الخمسة وصححه الترمدى وابن الجاروه(   

Artinya:
“Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah melarang jual beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.”
(Riwayat Imam Lima dan dishahihkan oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)            

2. Menurut Ulama Syafi’iyah
Membagi riba dalam 3 bagian:
a. Riba Fadhl
Adalah jual beli yang disertai adanya tambahan salah satu pengganti (penukar) dari yang lainnya. Riba ini terjadi pada barang yang sejenis seperti menjual satu kilogram kentang dengan setengah kilogram kentang.
b. Riba Yad
Jual beli dengan mengakhirkan penyerahan (Al Qabdu) yakni bercerai berai antara dua orang yang akad sebelum timbang terima, seperti menganggap sempurna jual beli antara gandum dengan syair tanpa harus saling menyerahkan dan menerima ditempat akad.
Menurut ulama hanafiyah, riba ini termasuk riba nasi’ah, yakni menambah yang tampak dari utang.

c. Riba Nasi’ah
Yakni jual beli yang pembayarannya diakhirkan, tetapi ditambahkan harganya. Menurut ulama syafi’iyah, riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada pertukaran barang yang tidak sejenis. Perbedaannya adalah riba yad mengakhirkan pemegangan barang, sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar. Al Mutaqalli menambahkan jenis riba dengan riba Qurdi (mensyaratkan adanya manfaat).

Berdasarkan pemahaman riba nasiah, maka dapat diketahui unsur-unsur yang terdapat dalam riba nasiah antara lain:
1.    Terjadi pada transaksi pinjam meminjam dalam jangka waktu tertentu
2.    Pihak peminjam harus dan wajib memberi tambahan pada pemberi utang ketika mengangsur atau melunasi pinjaman, khususnya ketika terjadi keterlambatan pembayaran utang.
Secara umum pandangan para ulama dapat dijelaskan sebagai berikut:
Riba fadl terdapat dalam bentuk transaksi yang dilakukan melalui serah terima secara langsung. Di sini terjadi kelebihan atau tambahan terhadap nilai tukar salah satu barang (komoditi) yang mestinya termasuk dalam jenis yang sama dan keduanya memiliki nilai tukar yang sama, yang menurut Hanafiah sama dalam kadar dan ukurannya. Menurut Malikiyah ditentukan oleh masa peredaran barang tersebut atau termasuk jenis bahan makanan yang biasa disimpan manusia. Menurut Syafi’iyah tergantung pada masa peredarannya atau termasuk bahan makanan pokok. Sedangkan menurut Hanbaliyah tergantung masa peredarannya atau ditentukan oleh kadar berat dan ukurannya.
Sedangkan riba nasi’ah terjadi karena penundaan penyerahan salah satu barang dalam suatu transaksi jual beli yang menyebabkan perbedaan nilai tukar dari masing-masing barang tersebut, yang oleh karenanya termasuk riba. Perbedaan nilai tukar yang dimaksud adalah sebagai berikut: menurut Hanafiah adalah sama dalam jenis, berat atau ukurannya. Menurut Malikiyah meliputi jenis persediaan yang biasa disimpan manusia atau sesuai dengan masa peredarannya. Menurut Syafi’iyah termasuk jenis makanan pokok atau sesuai dengan masa peredarannya. Sedangkan menurut Hanbaliyah meliputi kadar berat dan ukurannya atau sesuai dengan masa peredarannya.

E. Hal-hal yang Menimbulkan Riba  
Jika seorang menjual benda yang mungkin mendatangkan riba menurut jenisnya seperti seorang menjual salah satu dari dua macam mata uang yaitu mas dan perak dengan yang sejenis atau bahan makanan seperti beras dengan beras dan lain-lain, maka disyaratkan:
1. Sama nilainya (tamasul)
2. Sama ukurannya menurut syara’, baik timbangan, takaran dan ukuran
3. Sama-sama tunai (taqabuth) di majlis akad
Berikut ini contoh riba pertukaran:
a. Seorang menukar uang kertas Rp. 10.000 dengan uang receh Rp. 9.950, uang Rp. 50, tidak ada imbangannya maka uang Rp. 50 adalah riba.
b. Seorang meminjamkan uang sebanyak Rp. 100.000 dengan syarat dikembalikan ditambah 10 persen dari pokok pinjaman. Maka 10 persen dari pokok pinjaman adalah riba karena tidak ada timbangannya.
c. Seseorang menukarkan 1 liter beras ketan dengan 2 liter beras dolog, maka pertukaran tersebut adalah riba sebab beras harus ditukar dengan beras sejenis dan tidak boleh dilebihkan salah satunya.
d.    Seseorang yang akan membangun rumah membeli batu bata, uangnya diserahkan tanggal 5 Desember 1996, maka perbuatan tersebut adalah riba sebab terlambat salah satunya dan berpisah sebelum serah terima barang.
e.    Seseorang yang menukarkan 5 gram emas 22 karat dengan 5 gram emas 12 karat termasuk riba walaupun sama ukurannya tetapi berbeda nilai (harga)nya atau menukarkan 5 gram emas 22 karat dengan 10 gram emas 12 karat yang harganya sama, juga termasuk riba walaupun harganya sama ukurannya tidak sama.

F. Dampak Riba pada Ekonomi
Kini riba yang dipinjamkan merupakan asas pengembangan harta pada perusahaan dan itu berarti akan memusatkan harta pada penguasaan para hartawan, daya beli mereka pada hsil produksi juga kecil, disamping itu, pendapatan buruh juga kecil. Maka daya beli kebanyakan anggota masyarakat kecil pula.
Siklus ekonomi (masalah penting dalam perekonomian) yang berulang terjadi disebut krisis ekonomi. Para ahli ekonomi berpendapat bahwa penyebab utama krisis ekonomi adalah bunga yang dibayar sebagai peminjaman modal/ dengan kata lain riba.
Riba dapat menimbulkan daya beli masyarakat lemah sehingga persediaan jasa dan barang semakin tertimbun, akibatnya perusahaan macet karena produksinya kurang laku dan akhirnya menyebabkan bertambahnya jumlah pengangguran.
Lord Heynes pernah mengeluh dihadapan majlis tinggi Inggris tentang bunga yang diambil oleh pemerintah Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bahwa negara besar pun seperti Inggris terkena musibah dari bunga pinjaman Amerika Serikat, para Fuqaha menyebutnya dengan riba. Dengan demikian riba dapat merekatkan hubungan, baik antar negara ataupun antar perorangan.

E. Pendapat Ulama tentang Illat Riba
Ulama sepakat menetapkan riba Fadhl pada tujuh barang seperti terdapat pada nash yaitu emas dan perak, gandum, syair, kurma, garam dan anggur kering.
Adapun pada barang selain, para ulama berbeda pendapat:
1. Zhahiriyyah hanya mengharamkan ketujuh benda tersebut.
2. Menurut pendapat yang Masyhur dari Imam Ahmad dan Abu Hanifah, riba fadhl terjadi pada setiap jual beli barang sejenis dan yang ditimbang.
3. Imam Syafi’i dan sebagian pendapat Iman Ahmad berpendapat bahwa riba fadhl dikhususkan pada emas dan perak dan makanan meskipun tidak ditimbang.
4. Said Ibn Musoyyab dan sebagian riwayat Ahmad mengkhususkan pada makanan jika ditimbang.
5.  Imam Malik mengkhususkan pada makanan pokok.
6.  Madzhab Hanafi
Illat riba fadhl menurut ulama Hanafiyah adalah jual beli barang yang ditakar serta barang yang sejenis seperti emas, perak, gandum, syair, kurma, garam dan anggur kering. Jika barang-barang tersebut diperjual belikan, terdapat tambahan dari salah satunya terjadilah riba fadhl.
Ulama hanafiyah mendasarkan pendapat mereka pada hadist dari Said Al Khudri dan Ubadah Ibn Sharif r.a bahwa Nabi SAW bersabda
الذهب بالذهب مثلا بمثل يدا بيد والفضل ربا والفضة با لفضة مثلا بمثل يدا بيد والفضد ربا والحنطة مثلا بميل يدا بيد والفضل ربا والسعر بالشعير متلا بميل يدا بيد والفضد ربا والتمر بالتمر متلا عبل بدا بيد والفضل ربا والمح با الملح منلا بمل يدا بيدوالفضل ربا

Artinya: “(Jual beli) emas dan perak keduanya sama saja, tumpang terima (apabila ada) tambahan adalah riba, (jual beli) perak dengan perak, keduanya sama, tumpang terima (apabila ada) tambahan adalah riba (jual beli) gandum dengan gandum, keduanya sama, tumpang terima (apabila ada) tambahan adalah riba (jual beli) syair dengan syair keduanya sama tumpang terima (apabila ada) tambahan adalah riba, (jual beli) kurma dengan kurma keduanya sama tumpang terima (apabila ada) tambahan adalah riba (jual beli) garam dengan garam keduanya sama tumpang terima (apabila ada) tambahan adalah riba”.

7. Madzhab Malikiyah
Illat diharamkannya riba menurut ulama Malikiyah pada emas dan perak adalah harga, sedangkan mengenai illat riba dalam makanan mereka berbeda pendapat dalam hubungannya dengan riba nasi’ah dan riba fadhl. Illat diharamkannya riba nasi’ah dalam makanan adalah sekedar makanan saja, baik karena pada makanan tersebut terdapat unsur penguat dan kuat disimpan lama atau tidak ada kedua unsur tersebut.
Illat diharamkannya riba fadhl pada makanan adalah makanan tersebut dipandang sebagai makanan pokok dan kuat disimpan lama.
8. Madzhab Syafi’i
Illat pada makanan adalah segala sesuatu yang bisa dimakan dan memenuhi tiga kriteria berikut:
1.) Sesuatu yang biasa ditujukan sebagai makanan atau makanan pokok
2.) Makanan yang lezat atau yang dimaksudkan untuk melezatkan makanan, seperti ditetapkan dalam nash adalah kurma, diqiyaskan padanya, seperti anggur kering.
3.) Makanan yang dimaksudkan untuk menyehatkan badan dan memperbaiki makanan yakni obat.

Agar terhindar dari unsur riba, menurut ulama Syafi’iyah jual beli harus memenuhi kriteria:
1.) Dilakukan waktu akad, tidak mengaitkan pembayarannya pada masa yang akan datang.
2.) Sama ukurannya
3.) Tumpang terima

9. Madzhab Hambali
Terdapat tiga riwayat illat riba, yang paling mashyur adalah seperti pendapat ulama hanafiyah. Hanya saja, ulama hambali mengharamkan pada setiap jual beli sejenis yang ditimbang dengan satu kurma.
10. Madzhab Zhahiri
Menurut golongan ini, riba tidak dapat di illatkan, sebab ditetapkan dengan nash saja.

Kesimpulan dari pendapat para ulama di atas antara lain: illat riba menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah timbangan atau ukuran, sedangkan menurut ulama malikiyah adalah makanan pokok dan makanan tahan lama dan menurut ulama syafi’i adalah makanan.

F. Hikmah dilarangnya Riba
Riba dapat menimbulkan permusuhan antar sesama, menghilangkan semangat kerja dan tolong menolong. Padahal semua agama terutama islam amat menyeru kepada saling tolong menolong, dan membenci kepentingan ego, serta orang yang mengeksploitir kerja keras orang lain.

 a. Hikmah larangan itu ialah agar tidak ada penyesalan, baik oleh yang menukar maupun yang menukarkannya. Hukum paling baik.

 b. Melarang bentuk penukaran dan tidak membatalkan mengiqalahkan jual beli yang telah terjadi.

c. Riba menimbulkan sikap pemboros yang tidak bekerja. menimbun harta tanpa kerja keras, sehingga menjadi pemalas, seperti pohon benalu. Padahal islam sangat menghornati orang yang suka bekerja keras. Karena dengan kerja keras seseorang bisa lebih terasah kemampuannya juga bisa mandiri.

d. Riba merupakan salah satu cara penjajahan. Kita telah mengenal riba dengan segala dampak negatifnya di dalam menjajah negara kita.

 e. Islam menyeru agar manusia suka mendermakan harta kepada saudaranya dengan baik, jika saudaranya itu membutuhkan harta
.
f. Riba dapat mengakibatkan kehancuran. Banyak orang-orang yang kehilangan harta benda dan akhirnya menjadi fakir miskin.

g. untuk menghilangkan tipu-menipu di antara manusia dan juga menghindari kemadaratan.

. وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ :  نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ اَلصُّبْرَةِ مِنَ اَلتَّمْرِ لا يُعْلَمُ مَكِيلُهَا بِالْكَيْلِ اَلْمُسَمَّى مِنَ اَلتَّمْرِ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ(

“ Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli setumpuk kurma yang tidak diketahui takarannya dengan kurma yang diketahui takarannya”. (Riwayat Muslim)
Ulasan: Jika sudah ada tumpukan untuk membandingkannya, maka jual beli itu tidak haram, apalagi jika dilakukan oleh orang-orang yang berpengalaman
.
 وَعَنْ مَعْمَرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ رضي الله عنه قَالَ: إِنِّي كُنْتُ أَسْمَعُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: اَلطَّعَامُ بِالطَّعَامِ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَكَانَ طَعَامُنَا يَوْمَئِذٍ اَلشَّعِيرَ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ(

“Ma'mar Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Makanan dengan makanan yang sama sebanding." Makanan kami pada hari itu adalah sya'ir”.(Riwayat Muslim)




BAB III
KESIMPULAN

Jual beli itu penting karena dengan jual beli seseorang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya bahkan dapat sebagai sumber penghasilan dan mempertahankan hidupnya. Namun,sekarang ini banyak orang yang melakukan jual beli tetapi tidak menggunakan aturan dalam jual beli. Mereka mencari keuntungan dengan cara riba yang telah diterangkan secara jelas diatas dan dengan dalil Qur’an maupun Sunnah tentang keharaman RIBA.
Secara umum Ulama membagi riba itu menjadi dua macam saja, yaitu riba nasi’ah’ dan riba fadil, sedangkan riba yad dan Riba qardi termasuk ke dalam riba nasi’ah dan riba fadhl. Barang-barang yang berlaku riba padanya ialah emas,perak, dan makanan yang mengeyangkan atau yang berguna untuk yang mengenyangkan, misalnya garam. Jual beli barang tersebut, kalau sama jenisnya seperti emas dan dengan emas, gadum dengan gadum, diperlukan tiga syarat: (1) tunai, (2) serah terima, dan (3) sama timbangannya. Kalau jenisnya berlianan, tetapi ‘ilat ribanya satu, seperti emas dengan perak, boleh tidak sama tibangannya, tetapi mesti tunai dan timbang terima. Kalau jenis dan ‘ilat ribanya berlainan seperti perak dengan beras, boleh dijual bagaimana saja seperti barang-barang yang lain; berarti tidak diperlukan suatu syarat dari yang tiga itu.
Riba (termasuk bunga bank) adalah termasuk dosa besar. Baik pemberi, penulis dan dua saksi riba adalah sama dalam dosa dan maksiat dengan pemakan riba. Tidak boleh bagi seorang Muslim mengokohkan transaksi riba. Dianjurkan (bahkan wajib) bagi kaum Muslimin untuk bermuamalah sesuai dengan syari’at agama, dan menghindarkan dari segala macam bentuk/praktek riba.






BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1.    Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
2.    Syafe’i, Ravhmat. Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Tagged
Different Themes
Written by Templateify

Aenean quis feugiat elit. Quisque ultricies sollicitudin ante ut venenatis. Nulla dapibus placerat faucibus. Aenean quis leo non neque ultrices scelerisque. Nullam nec vulputate velit. Etiam fermentum turpis at magna tristique interdum.

0 komentar